<
>
Upload File
Genre/category

Term paper
Linguistics

University, School

UGM Yogyakarta

Grade, Teacher, Year

2013

Author / Copyright
Dominique O. ©
Metadata
Format: pdf
Size: 0.26 Mb
Without copy protection
Rating
sternsternsternsternstern
ID# 32646








TELISIK SIMBOL DAN MAKNA TRADISI BEGALAN

PADA UPACARA PERKAWINAN DAERAH BANYUMAS

 

A.      Latar Belakang

Di daerah banyumas Jawa tengah terdapat beberapa tradisi yang kerap dilakukan oleh masyarakatnya. Bebrapa tradisi buaya yang ada di Banyumas antara lain Begalan, mitoni, ngruwat, tumpengan dan lain sebagaiya. Salah satu budaya yang ada di Banyumas yaitu tradisi Begalan. Begalan meruapakan budaya adat warisan leluhur yang sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyrakat banyumas. Begalan ini dilakukan pada acara pernikahan terutama pada pernikahan yang calon pengantin lelaki yang dalam silsilah keluarga menjadi anak sulung atau anak bungsu.   Di daerah Banyumas, tradisi Begalan ini menjadi bagian yang terpenting dalam prosesi pernikahan adat. Begitu kuatnya kepercayaan masyarakat Banyumas terhadap tradisi ini, seringkali pernikahan adat itu dinilai belum lengkap jika tradisi Begalan belum terlaksana.

Di dalam seni tradisi Begalan ada nuansa yang terkandung di dalamnya, yaitu, wejangan dari sesepuh selain di dalamnya ter­kandung pesan atau wejangan yang ditujukan kepada mempelai pasangan pe­ngantin. Tahun 1960-an seni tradisi Begalan menjadi primadona, terutama masyarakat yang masih taat dan menjunjung tinggi terhadap adat Namun dengan pengaruh perkembangan kesenian yang kian instan, acara Begalan sudah kian jarang dilakukan pada upacara pernikahan di Ka­residenan Banyumas.

Begalan itu sendiri memiliki arti perampok. Peran seorang perampok disini adalah untuk merampas barang milik orang lain. Perampasan ini dalam bahasa Banyumas disebut sebagai “mbegal”. Begalan itu sendiri memiliki beberapa proses dan ketentuan yang harus dilakukan supaya ritual ini berjalan seperti semestinya. Umumnya, jumlah penari dalam begalan adalah dua orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang yakni disebut sebagai Gunareka, dan seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok yang bernama Rekaguna. Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring. Pembegal biasanya membawa pedang kayu yang bernama wlira. Kostum pemain cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan busana Jawa.

Selain barang-barang tersebut diatas, pada acara begalan juga terdapat sesajen yang merupakan symbol akan sesuatu, serta perlengkapan begal yang harus wajib ada ketika prosesi berlangsung. Keunikan prosesnya inilah yang menarik penulis untuk meneliti mengenai kesenian begalan ini di daerah Banyumas umumnya, karena ditempat lain selain daerah Banyumas, kesenian ini tidak ditemukan.

 

B.       Metode Penelitian

Jenis metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini menurut Ratna (2009: 46-48) adalah metode yang memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi, ciri-ciri terpenting metode kualitatif adalah memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, tidak ada jarak antara subjek dan objek peneliti, desain dan kerangka bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka, penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konetks sosial budayanya masing-masing. Dalam sebuah penelitian yang baik antara peneliti dan objek penelitian yang diteliti hendaknya memang tidak memiliki jarak, karena objek peneliti tidak akan mengeluarkan datanya secara kompleks. hendaknya seorang peneliti menyatu dengan apa yang diteliti sehingga data yang diperoleh akan terasa alami.

 

C.      Pembahasan

1.      Sejarah

Kata "Begalan" berasal dari bahasa Jawa, artinya perampokan. Dalam penya­jiannya memang terjadi dialog sesuai dengan le­genda. Syahdan, pada saat putri bungsu Adipati Wira­saba hendak dinikahkan dengan putri sulung Adipati Banyumas Pangeran Tirtokencono. Begalan wajib dilaksanakan. Sebab apabila tata cara ini tidak diindahkan, dikhawatirkan bakal terjadi bencana atau musibah. Bencana bisa menimpa kedua mempelai dalam mengarungi bahtera hidup berumah tangga. Tradisi Begalan di dalamnya sangat dipercaya mengandung kekuatan gaib dan unsur Irasional.

Menurut para pakar budaya di Banyumas, tra­disi begalan muncul sejak Pemerintah Bupati Ba­nyumas ke XIV, saat itu Raden Adipati Tjokronegoro (tahun 1850). Pada jaman itu Adipati Wirasaba berhajat mengawinkan putri bung­sunya Dewi Sukesi dengan Pangeran Tirtokencono, putra sulung Adipati Ba­nyumas. Satu minggu se­telah pernikahannya Sang Adipati Banyumas ber­kenan memboyong kedua mempelai dari Wirasaba ke Kadipaten Banyumas (ngun­duh temanten), berjarak kurang lebih 20 km. Setelah menyeberangi sungai Serayu dengan me­nggunakan perahu tambang, rombongan yang dikawal sesepuh dan pengawal Kadi­paten Wirasaba dan Ba­nyumas, di tengah per­jalanan yang angker di­hadang oleh seorang begal (perampok) berbadan tinggi besar, hendak merampas semua barang bawaan rombongan pengantin. Terjadilah peperangan antara para pengawal melawan Begal raksasa yang mengaku sebagai penunggu daerah tersebut.

Pada saat pertempuran akhirnya begal dapat di­kalahkan. Kemudian lari menghilang masuk ke dalam Hutan yang angker dan wingit. Perjalanan dilanjut­kan kembali, melewati desa Sokaweradan Kedunguter. Sejak itu para leluhur daerah Banyumas berpesan terhadap anak cucu agar mentaati tata cara per­syaratan perkawinan, di­kandung maksud kedua mempelai terhindar dari marabahaya.

Pengertian Begalan tersebut berdasarkan para pakar budaya Banyumas. Berbeda halnya dengan pandangan masyarakat mengenai Begalan itu sendiri. Menurut Pak Ridan seorang juru begal di desa Cipawon, Kabupaten Purbalingga menyatakan bahwa fungsi diadakannya begalan yaitu untuk membuang sial agar selamat. Sedangkan asal-usul begalan untuk membuang sial dan ritual ini merupakan seni peniggalan leluhur Banyumas yang diwariskan kepada anak cucu sampai sekarang.

Berbeda lagi tanggapan dari Pak Yanto, seorang warga Cipawon yang mengadakan begalan untuk pernikahan anaknya. Beliau berbicara bahwa begalan hanya sekedar untuk hiburan, fungsi utama begalan itu sendiri bahkan beliau tidak tahu. Tanggapan berbeda diberikan oleh Nisa, seorang mahasiswa di salah satu universitas di Purwokerto dan berasal dari desa yang sama dengan Pak Ridan maupun pak Yanto. Nisa menyatakan bahwa begalan merupakan tradisi ketika menikahkan anak putri pertamanya dan yang membawa barangnya pria dilaksanakan setelah ijaban saat walimah. Tujuan begalan karena sudah mengikuti tradisi terdahulu, kalau tidak melakukan takutnya dicela oleh masyarakat.

Setelah mengetahui beberapa pendapat yang berbeda dari masyarakat tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna begalan itu sendiri sebagai tradisi untuk menolak bala dan mengandung nilai hiburan, serta nilai seni yang sudah turun temurun sejak zaman adipati Wirasaba memerintah. Kemudian, dalam tradisi begalan, terdapat beberapa proses yang harus dilakukan.

 

 

2.      Proses Begalan

Upacara ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Begalan merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending. Jumlah penari dua orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang (peralatan dapur) yang bernama Gunareka, dan seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok yang bernama Rekaguna. Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring. Barang bawaan ini biasa disebut brenong kepang. Pembegal biasanya membawa pedang kayu yang bernama wlira. Kostum pemain cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan busana Jawa.

a.       Adapun ketentuan dalam acara seni Begalan yaitu :

1)      Iringan yang digunakan menggunakakan instrumen gamelan jawa, sedangkan     gerakan tarian disesuaikan dengan irama gamelan.

2)      Tarian Begalan dibawakan oleh dua orang pemain pria yang memerankan Gunareka dan Rekaguna.

3)      Dialog dengan gaya jenaka yang berisi tentang nasehat – nasehat penting bagi kedua mempelai dan penonton.

4)      Waktu pelaksanaan pada siang atau sore hari dan waktu yang dibutuhkan untuk pementasan kurang lebih satu jam.

5)      Tempat yang digunakan biasanya pelataran rumah (halaman) pengantin wanita.

 

b.      Kostum dan Make Up Pelaku Begalan

Kostum yang dipakai sangat sederhana. Mereka hanya mengenakan pakaian adat Jawa saja. Pakaian yang digunakan untuk pementasan antara lain :

1)      Baju Kokok Hitam

2)      Stagen dan Sabuk

3)      Celana Komprang berwarna Hitam

4)      Kain Sarung

5)      Sampur atau Selendang menari

6)      Ikat Wulung berwarna Hitam

Cara mengenakan pakaian, pertama – tama celana dan baju lalu kain yang diberi stagen dan ikat panggung. Jika tidak ada kain boleh menggunakan sarung. Sampur dikalungkan pada lehernya. Terkadang Gunareka memakai topi kukusan. Rekaguna membawa pedang wlira. Make upnya sederhana. Dahulu mereka menggunakan langes atau arang yang dihaluskan kemudian dicampurkan minyak kelapa. Campuran berwarna hitam untuk merias muka, membuat kumis, jambang, alis dan lain-lain. Bahan lain yang diperlukan yaitu bedak dan teres (sepuhan).

 

c.       Sesajen simbol dalam Begalan

Keberadaan simbol atau lambang di Banyumas sampai sekarang masih merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan oleh masyarakat. Karena mereka percaya apabila tidak melaksanakannya maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pada pelaksanaan hajat pernikahan hal-hal yang harus dilaksanakan dan memiliki simbol, yakni  adanya peralatan dan sesajen yang semuanya memiliki simbol.  Adapun  sesajen yang harus disediakan berupa:

1)      Tumpeng simbol kesempurnaan yang paling absolut. 

2)      Pisang ayu, pisang raja setangkep  berwarna kuning dilengkapi gantal yang diikat dengan benang lawe, kinang lengkap serta uang sebagai symbol ketinggian atau kebesaran jabatan dengan harapan akan mencapai derajat yang tinggi dan dihormati sebagai pemimpin keluarga.

3)      Gantal, adalah daun sirih yang digulung bagian tengah diikat dengan benang sebagai lambang manusia harus tahu atau weruh tentang hidup dan kehidupannya sendiri dan dalam masyarakat. Pengikatnya disebut lawe wenang sebagai lambang ikatan batin manusia agar perilaku dan perbuatan tidak sewenang-wenang dalam hidup bermasyarakat.

4)      Kinang jangkep,masing-masing memiliki makna; enjet atau ampu simbol orang hidup harus selalu mohon ampunan kepada Tuhan. Gambir melambangkan pergantian kehidupan yang selalu berubah, kadang di atas kadang di bawah. Tembakau symbol manusia harus selalu menata dengan baik kehidupannya di dalam kehidupan pribadi, keluarga serta dalam bermasyarakat.Simbol dari kinang jangkep adalah agar mempelai mendapat ketentraman, kebahagiaan dunia akhirat.

5)      Tindih lambang kemampuan

6)      Bunga setaman lambang kesuburan.

7)      Jajan pasar berjumlah tujuh macam lambang dari; kakang kawah (wetan), adhi ari-ari (kilen), getih (kidul), puser (lor), kalmia pancer (tengah), bumi dan angkasa atau langit. Jajan pasar lambang manusia memiliki kelengkapan budi, karsa, dan karya selanjutnya berguna bagi masyarakat.

8)      Nasi aking atau sekul Loyang lambang  manusia harus bisa mamanfaatkan sesuatu untuk lebih berguna.

9)      Barikan, sayur dari kluwih, ketela, atau kacang tanah sebagai symbol linuwih atau mendapat kelebihan, dan cita-citanya dapat tercapai.

10)  Tombak, simbol melindungi dari segala bahaya baik dari manusia atau roh jahat.

11)  Payung lambang pengayoman atau saling melindungi.

12)  Teken lambang menuntun menuju hal-hal yang baik.

 

d.      Perlengkapan Begalan

Perlengkapan yang digunakan pada saat pentas seni Begalan :

1)        Pikulan atau mbatan

adalah alat pengangkat brenong kepang bagi peraga yang bernama Gunareka. Begal ini dari pihak pengantin pria atau kakung . Alat ini terbuat dari bambu yang melambangkan seorang pria yang akan berumah tangga harus dipertimbangkan terlebih dahulu, jangan sampai merasa kecewa setelah pernikahan sehingga k etika seorang pria mencari seorang calon isteri maka harus dipertimbangkan bibit, bobot, dan bebetnya.

2)        Pedang Wlira

adalah alat yang digunakan sebagai pemukul dengan ukuran panjang 1 meter, tebal 2cm, dan lebar 4 cm. Terbuat dari kayu pohon pinang. Pedang Wlira dibawa oleh Rekaguna dari pihak pengantin wanita yang menggambarkan seorang pria yang bertanggungjawab, berani menghadapi segala sesuatu yang menyangkut keselamatan keluarga dari ancaman bahaya.

 

 

3)        Brenong Kepang

adalah barang – barang yang dibawa oleh Gunareka utusan dari keluarga mempelai pria berupa alat – alat dapur meliputi :

a)        Ian merupakan alat untuk angi nasi terbuat dari anyaman bambu yang menggambarkan bumi tempat kita berpijak.

b)        Ilir merupakan kipas yang terbuat dari anyaman bambu melambangkan seseorang yang sudah berkeluarga agar dapat membedakan perbuatan baik dan buruk sehingga dapat mengambil keputusan yang bijak saat sudah berumah tangga.

c)        Cething adalah alat yang digunakan untuk tempat nasi terbuat dari bambu. Maksudnya bahwa manusia hidup di masyarakat tidak boleh semunya sendiri tanpa mempedulikan orang lain dan lingkunganya.Manusia adalah mahluk sosial yang butuh orang lain

d)       Kukusan adalah alat untuk menank nasi yang terbuat dari anyaman bamboo berbentuk kerucut yang mempunyai arti kiasan bahwa seseorang yang sudah berumah tangga harus berjuang untuk menckupi kebutuhan hidup semaksimal mungkin.

e)        Centhong adalah alat untuk mengambil nasi pada saat nasi diangi, yang terbuat dari kayu atau hasil tempurung kelapa. Maksudnya seorang yang sudah berumah tangga mampu mengoreksi diri sendiri atau introspeksi sehingga ketika mendapatkan perselisihan antara kedua belah pihak (suami dan istri) dapat terselesaikan dengan baik. Selalu mengadakan musyawarah yang mufakat sehingga terwujudlah keluarga yang sejahtera, bahagia lahir dan batin.

f)         Irus adalah alat untuk mengambil dan mengaduk sayur yang terbuat dari kayu atau tempurung kelapa. Maksudnya ialah sesorang yang sudah berumah tangga hendaknya tidak tergiur atau tergoda dengan pria atau wanita lain yang dapat mengakibatkan retaknya hubungan rumah tangga.

g)        Siwur adalah alat untuk mengambil air terbuat dari tempurung kelapa yang masih utuh dengan melubangi di bagian atas dan diberi tangkai. Siwur merupakan kerata basa yaitu, asihe aja diawur – awur. Artinya, orang yang sudah berumah tangga harus dapat mengendalikan hawa nafsu, jangan suka menabur benih kasih saying kepada orang lain.

h)        Saringan ampas atau kalo adalah alat untuk menyaring ampas terbuat dari anyaman bambu yang memiliki arti bahwa setiap ada berita yang datang harus disaring atau harus hati – hati.

i)          Wangkring yaitu pikulan dari bambu. Filsafatnya adalah di dalam menjalani hidup ini berat ringan, senang susah hendaklah dipikul bersama antara suami dan istri

Pelaku begalan terdiri dua orang. Mereka berdialog saling tegang diiringi sebuah musik tradisional gamelan sederhana (kenong, ken­dang, gong). Kostum kedua pelaku dengan ciri warna­-warna dasar seperti hitam, putih, merah, dan biru. Semula dialog memakai bahasa Banyumas asli namun belakangan kadang menggunakan campuran bahasa Solo atau Yogya­karta.

Kedua pelaku adalah wakil dari kedua mempelai. Pada saat saling argumen­tasi dan bertanya jawab, wakil mempelai putra biasanya disebut Surantani atau Jurutani. Sedangkan wakil perempuan disebut Suradenta. Konon sebutan nama Sura diambil pelaku seni begalan yang dulu sangat terkenal, berasal dari Desa Suro, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyu­mas.

Mereka punya tugas yang berbeda. Suratani me­ngantar peralatan dapur dengan sebuah pikulan yang disebut Bronong Kepang menuju mempelai putri. Se­dangkan Suradenta menjaga mempelai putri, menyambut datangnya mempelai putra yang kelak menjadi pendamping hidup berumah tangga. Sesuai tugasnya, alat yang dipegang Suradenta berupa pemukul, disebut Pedang Wira yang berfungsi memukul periuk. Periuk terbuat dari tanah liat yang berasal dari tanah desa Gambarsari, Kecamatan Kemangkon berisi nasi ku­ning.

Ketika periuk pecah dan penonton yang sebagian besar anak-anak mulai berebutan, maka pertanda berakhirnya pementasam tradisional Begalan. Menurut adat dan keper­cayaan, beras dan isi berupa makanan diberikan sebagai sesaji kepada Iwen supaya Wredhi. Artinya supaya berputra/putri banyak, sehat lahir batin, selamat dunia akhirat. Pertunjukkan seni begalan biasanya diselenggarakan di rumah pihak mempelai putri.

 

 

D.      Kesimpulan

Begalan merupakan tradisi kebuayaan Banyumas Jawa Tengah yang  pelaksanaanya dilakuakan pada upacara pernikahan putra sulung atau bungsu. Pada dasarnya Tari Begalan adalah tarian rakyat yang menggunakan peralatan – peralatan (Properti) yang memiliki makna simbolis yang berguna bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Dialog dengan gaya jenaka ditampilkan dalam pertunjukan seni untuk rakyat yang berfungsi untuk menghibur. Kostum atau tata pakaian dan riasannya juga sederhana karena begalan termasuk bentuk kesenian rakyat yang bersifat sederhana.

Seni tutur Begalan ini mengandung unsur tatanan, tuntunan,  dan tontonan yang diyakini dan dipercaya oleh masyarakat Banyumas. Yang dimaksud dengan seni begalan sebagai tatanan adalah norma-norma/ adat yang berlaku di daerah tersebut.  Tuntunan  merupakan hal-hal yang harus dituruti oleh orang-orang daerah tersebut, sedangkan tontonan berarti kesenian tersebut dijadikan pertunjukan. Sebagai suatu norma yang turun menurun dan harus diikuti oleh masyarakat Banyumas yang percaya dan sekaligus dapat menjadi tontonan bagi tamu undangan maka sampai sekarang seni tutur Begalan masih sering diadakan  oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya yang percaya untuk mengadakan Begalan pada hajat pernikahan putranya  apabila pengantin pria sebagai anak sulung  mendapatkan jodoh putri sulung, pengantin putra sebagai anak bungsu mendapat jodoh putri bungsu, atau pengantin pria sulung mendapat jodoh putri bungsu. Hal ini dilaksanakan dengan maksud untuk memberikan wejangan, ular-ular atau nasihat yang ditujukan kepada mempelai dalam mengarungi kehidupan yang baru dalam keluarga maupun masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. PT LKiS Pelangi Aksara: Yogyakarta

 

Khalil, Ahmad. 2008. Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. Yogyakarta: UIN Malang Press

 

Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Kohari, Kasan. 2009. Ragam Budaya Banyumasan Untuk Aset Wisata. Kontribusi, Volume 2 Edisi 1, November 2009. Lembaga Penelitian Unsoed: Purwokerto

 

Ns, Suwito. 2008. Islam Dalam Tradisi Begalan. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.

 

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Solikhin, Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.

 

Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen “Tradisi Jawa Melepaskan Keduniawian Menggapai Kemanungalan”. Jakarta: PT. Buku Kita

 

Sumber sebagai pembicara diambil pada 28 Mei 2013:

Pak Ridan, Pak Yanto, Annisa berasal dari desa Cipawon, Kec. Bukateja, Kabupaten Purbalingga.

 


Sende den Text als PDF
kostenlos an mich

Email empfang erlauben

Swap your papers