TELISIK SIMBOL DAN MAKNA TRADISI BEGALAN
PADA UPACARA PERKAWINAN DAERAH BANYUMAS
A. Latar
Belakang
Di
daerah banyumas Jawa
tengah terdapat beberapa tradisi yang kerap dilakukan oleh masyarakatnya.
Bebrapa tradisi buaya yang ada di Banyumas antara lain Begalan, mitoni,
ngruwat, tumpengan dan lain sebagaiya. Salah satu budaya yang ada di Banyumas
yaitu tradisi Begalan. Begalan meruapakan budaya adat warisan leluhur yang
sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyrakat banyumas. Begalan ini
dilakukan pada acara pernikahan terutama pada pernikahan yang
calon pengantin lelaki yang dalam silsilah keluarga menjadi anak sulung atau
anak bungsu. Di daerah Banyumas, tradisi Begalan ini menjadi bagian
yang terpenting dalam prosesi pernikahan adat. Begitu kuatnya kepercayaan
masyarakat Banyumas terhadap tradisi ini, seringkali pernikahan adat itu
dinilai belum lengkap jika tradisi Begalan belum terlaksana.
Di
dalam seni tradisi Begalan ada nuansa yang terkandung di dalamnya, yaitu,
wejangan dari sesepuh selain di dalamnya terkandung pesan atau wejangan yang
ditujukan kepada mempelai pasangan pengantin. Tahun 1960-an seni tradisi Begalan
menjadi primadona, terutama masyarakat yang masih taat dan menjunjung tinggi
terhadap adat Namun dengan pengaruh perkembangan kesenian yang kian instan,
acara Begalan sudah kian jarang dilakukan pada upacara pernikahan di Karesidenan
Banyumas.
Begalan
itu sendiri memiliki arti perampok. Peran seorang perampok disini adalah untuk
merampas barang milik orang lain. Perampasan ini dalam bahasa Banyumas disebut
sebagai “mbegal”. Begalan itu sendiri memiliki beberapa proses dan ketentuan
yang harus dilakukan supaya ritual ini berjalan seperti semestinya. Umumnya, jumlah
penari dalam begalan adalah dua
orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang
yakni disebut sebagai
Gunareka,
dan seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok yang bernama Rekaguna.
Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, cething, kukusan, saringan ampas,
tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring. Pembegal
biasanya membawa pedang kayu yang bernama wlira. Kostum pemain cukup sederhana,
umumnya mereka mengenakan busana Jawa.
Selain
barang-barang tersebut diatas, pada acara begalan juga terdapat sesajen yang
merupakan symbol akan sesuatu, serta perlengkapan begal yang harus wajib ada
ketika prosesi berlangsung. Keunikan prosesnya
inilah yang menarik penulis untuk meneliti mengenai kesenian begalan ini di
daerah Banyumas umumnya, karena ditempat lain selain daerah Banyumas, kesenian
ini tidak ditemukan.
B. Metode
Penelitian
Jenis metode penelitian yang dipergunakan adalah
metode deskriptif kualitatif. Metode ini menurut
Ratna (2009: 46-48) adalah metode yang memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan
menyajikannya dalam bentuk deskripsi, ciri-ciri terpenting metode kualitatif
adalah memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, lebih mengutamakan
proses dibandingkan hasil, tidak ada jarak antara subjek dan objek peneliti,
desain dan kerangka bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka,
penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konetks sosial budayanya
masing-masing. Dalam sebuah penelitian yang baik antara peneliti dan objek
penelitian yang diteliti hendaknya memang tidak memiliki jarak, karena objek
peneliti tidak akan mengeluarkan datanya secara kompleks. hendaknya seorang
peneliti menyatu dengan apa yang diteliti sehingga data yang diperoleh akan
terasa alami.
C.
Pembahasan
1.
Sejarah
Kata "Begalan" berasal dari
bahasa Jawa, artinya perampokan. Dalam penyajiannya memang terjadi dialog
sesuai dengan legenda. Syahdan, pada saat putri bungsu Adipati Wirasaba
hendak dinikahkan dengan putri sulung Adipati Banyumas Pangeran Tirtokencono.
Begalan wajib dilaksanakan. Sebab apabila tata cara ini tidak diindahkan,
dikhawatirkan bakal terjadi bencana atau musibah. Bencana bisa menimpa kedua
mempelai dalam mengarungi bahtera hidup berumah tangga. Tradisi Begalan di
dalamnya sangat dipercaya mengandung kekuatan gaib dan unsur Irasional.
Menurut
para pakar budaya di Banyumas, tradisi begalan muncul sejak Pemerintah Bupati
Banyumas ke XIV, saat itu Raden Adipati Tjokronegoro (tahun 1850). Pada jaman
itu Adipati Wirasaba berhajat mengawinkan putri bungsunya Dewi Sukesi dengan
Pangeran Tirtokencono, putra sulung Adipati Banyumas. Satu minggu setelah
pernikahannya Sang Adipati Banyumas berkenan memboyong kedua mempelai dari
Wirasaba ke Kadipaten Banyumas (ngunduh temanten), berjarak kurang
lebih 20 km. Setelah
menyeberangi sungai Serayu dengan menggunakan perahu tambang, rombongan yang
dikawal sesepuh dan pengawal Kadipaten Wirasaba dan Banyumas, di tengah perjalanan
yang angker dihadang oleh seorang begal (perampok) berbadan tinggi besar,
hendak merampas semua barang bawaan rombongan pengantin. Terjadilah peperangan
antara para pengawal melawan Begal raksasa yang mengaku sebagai penunggu daerah
tersebut.
Pada
saat pertempuran akhirnya begal dapat dikalahkan. Kemudian lari menghilang
masuk ke dalam Hutan yang angker dan wingit. Perjalanan dilanjutkan
kembali, melewati desa Sokaweradan Kedunguter. Sejak itu para leluhur daerah
Banyumas berpesan terhadap anak cucu agar mentaati tata cara persyaratan
perkawinan, dikandung maksud kedua mempelai terhindar dari marabahaya.
Pengertian
Begalan tersebut berdasarkan para pakar budaya Banyumas. Berbeda halnya dengan
pandangan masyarakat mengenai Begalan itu sendiri. Menurut Pak Ridan seorang
juru begal di desa Cipawon, Kabupaten Purbalingga menyatakan bahwa fungsi
diadakannya begalan yaitu untuk membuang sial agar selamat. Sedangkan asal-usul
begalan untuk membuang sial dan ritual ini merupakan seni peniggalan leluhur
Banyumas yang diwariskan kepada anak cucu sampai sekarang.
Berbeda
lagi tanggapan dari Pak Yanto, seorang warga Cipawon yang mengadakan begalan
untuk pernikahan anaknya. Beliau berbicara bahwa begalan hanya sekedar untuk
hiburan, fungsi utama begalan itu sendiri bahkan beliau tidak tahu. Tanggapan
berbeda diberikan oleh Nisa, seorang mahasiswa di salah satu universitas di
Purwokerto dan berasal dari desa yang sama dengan Pak Ridan maupun pak Yanto.
Nisa menyatakan bahwa begalan merupakan tradisi ketika menikahkan anak putri
pertamanya dan yang membawa barangnya pria dilaksanakan setelah ijaban saat
walimah. Tujuan begalan karena sudah mengikuti tradisi terdahulu, kalau tidak
melakukan takutnya dicela oleh masyarakat.
Setelah
mengetahui beberapa pendapat yang berbeda dari masyarakat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa makna begalan itu sendiri sebagai tradisi untuk menolak bala
dan mengandung nilai hiburan, serta nilai seni yang sudah turun temurun sejak
zaman adipati Wirasaba memerintah. Kemudian, dalam tradisi begalan, terdapat
beberapa proses yang harus dilakukan.
2.
Proses Begalan
Upacara
ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Begalan
merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan
iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat
pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending.
Jumlah penari dua orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang
(peralatan dapur) yang bernama Gunareka, dan seorang lagi bertindak sebagai
pembegal/perampok yang bernama Rekaguna. Barang-barang yang dibawa antara lain
ilir, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus,
kendhil dan wangkring. Barang bawaan ini biasa disebut brenong kepang. Pembegal
biasanya membawa pedang kayu yang bernama wlira. Kostum pemain cukup sederhana,
umumnya mereka mengenakan busana Jawa.
a. Adapun
ketentuan dalam acara seni Begalan yaitu :
1)
Iringan yang digunakan menggunakakan
instrumen gamelan jawa, sedangkan gerakan tarian disesuaikan dengan irama
gamelan.
2) Tarian
Begalan dibawakan oleh dua orang pemain pria yang memerankan Gunareka dan
Rekaguna.
3)
Dialog dengan gaya jenaka yang berisi
tentang nasehat – nasehat penting bagi kedua mempelai dan penonton.
4)
Waktu pelaksanaan pada siang atau sore
hari dan waktu yang dibutuhkan untuk pementasan kurang lebih satu jam.
5)
Tempat yang digunakan biasanya pelataran
rumah (halaman) pengantin wanita.
b. Kostum
dan Make Up Pelaku Begalan
Kostum
yang dipakai sangat sederhana. Mereka hanya mengenakan pakaian adat Jawa saja.
Pakaian yang digunakan untuk pementasan antara lain :
1) Baju
Kokok Hitam
2) Stagen
dan Sabuk
3) Celana
Komprang berwarna Hitam
4) Kain
Sarung
5) Sampur
atau Selendang menari
6) Ikat
Wulung berwarna Hitam
Cara mengenakan pakaian, pertama – tama
celana dan baju lalu kain yang diberi stagen dan ikat panggung. Jika tidak ada
kain boleh menggunakan sarung. Sampur dikalungkan pada lehernya.
Terkadang
Gunareka memakai topi kukusan. Rekaguna membawa pedang wlira. Make upnya
sederhana. Dahulu mereka menggunakan langes atau arang yang dihaluskan kemudian
dicampurkan minyak kelapa. Campuran berwarna hitam untuk merias muka, membuat
kumis, jambang, alis dan lain-lain. Bahan lain yang diperlukan yaitu bedak dan
teres (sepuhan).
c. Sesajen
simbol dalam Begalan
Keberadaan simbol atau lambang di
Banyumas sampai sekarang masih merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan oleh
masyarakat. Karena mereka percaya apabila tidak melaksanakannya maka akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pada pelaksanaan hajat pernikahan
hal-hal yang harus dilaksanakan dan memiliki simbol, yakni adanya peralatan
dan sesajen yang semuanya memiliki simbol. Adapun sesajen yang harus
disediakan berupa:
1) Tumpeng
simbol kesempurnaan yang paling absolut.
2) Pisang
ayu, pisang raja setangkep berwarna kuning dilengkapi gantal yang diikat
dengan benang lawe, kinang lengkap serta uang sebagai symbol ketinggian atau
kebesaran jabatan dengan harapan akan mencapai derajat yang tinggi dan
dihormati sebagai pemimpin keluarga.
3) Gantal,
adalah daun sirih yang digulung bagian tengah diikat dengan benang sebagai
lambang manusia harus tahu atau weruh tentang hidup dan kehidupannya
sendiri dan dalam masyarakat. Pengikatnya disebut lawe wenang sebagai lambang
ikatan batin manusia agar perilaku dan perbuatan tidak sewenang-wenang dalam
hidup bermasyarakat.
4) Kinang
jangkep,masing-masing memiliki makna; enjet atau ampu simbol orang hidup harus
selalu mohon ampunan kepada Tuhan. Gambir melambangkan pergantian kehidupan
yang selalu berubah, kadang di atas kadang di bawah. Tembakau symbol manusia
harus selalu menata dengan baik kehidupannya di dalam kehidupan pribadi,
keluarga serta dalam bermasyarakat.Simbol dari kinang jangkep adalah agar
mempelai mendapat ketentraman, kebahagiaan dunia akhirat.
5) Tindih
lambang kemampuan
6) Bunga
setaman lambang kesuburan.
7) Jajan
pasar berjumlah tujuh macam lambang dari; kakang kawah (wetan), adhi ari-ari
(kilen), getih (kidul), puser (lor), kalmia pancer (tengah), bumi dan angkasa
atau langit. Jajan pasar lambang manusia memiliki kelengkapan budi, karsa, dan
karya selanjutnya berguna bagi masyarakat.
8) Nasi
aking atau sekul Loyang lambang manusia harus bisa mamanfaatkan sesuatu untuk
lebih berguna.
9) Barikan,
sayur dari kluwih, ketela, atau kacang tanah sebagai symbol linuwih atau
mendapat kelebihan, dan cita-citanya dapat tercapai.
10) Tombak,
simbol melindungi dari segala bahaya baik dari manusia atau roh jahat.
11) Payung
lambang pengayoman atau saling melindungi.
12)
Teken
lambang menuntun menuju hal-hal yang baik.
d. Perlengkapan
Begalan
Perlengkapan yang digunakan pada saat
pentas seni Begalan :
1)
Pikulan atau mbatan
adalah alat pengangkat brenong kepang
bagi peraga yang bernama Gunareka. Begal ini dari pihak pengantin pria atau kakung
. Alat ini terbuat dari bambu yang melambangkan seorang pria yang akan
berumah tangga harus dipertimbangkan terlebih dahulu, jangan sampai merasa
kecewa setelah pernikahan sehingga k etika seorang pria mencari seorang calon
isteri maka harus dipertimbangkan bibit, bobot, dan bebetnya.
2)
Pedang Wlira
adalah alat yang digunakan sebagai
pemukul dengan ukuran panjang 1 meter, tebal 2cm, dan lebar 4 cm. Terbuat dari
kayu pohon pinang. Pedang Wlira dibawa oleh Rekaguna dari pihak pengantin
wanita yang menggambarkan seorang pria yang bertanggungjawab, berani menghadapi
segala sesuatu yang menyangkut keselamatan keluarga dari ancaman bahaya.
3)
Brenong Kepang
adalah barang – barang yang dibawa oleh
Gunareka utusan dari keluarga mempelai pria berupa alat – alat dapur meliputi :
a)
Ian merupakan
alat untuk angi nasi terbuat dari anyaman bambu yang
menggambarkan
bumi tempat kita berpijak.
b)
Ilir merupakan
kipas yang terbuat dari anyaman bambu melambangkan seseorang yang sudah
berkeluarga agar dapat membedakan perbuatan baik dan buruk sehingga dapat
mengambil keputusan yang bijak saat sudah berumah tangga.
c)
Cething adalah
alat yang digunakan untuk tempat nasi terbuat dari bambu. Maksudnya bahwa
manusia hidup di masyarakat tidak boleh semunya sendiri tanpa mempedulikan
orang lain dan lingkunganya.Manusia adalah mahluk sosial yang butuh orang lain
d) Kukusan
adalah alat untuk menank nasi yang terbuat dari
anyaman bamboo berbentuk kerucut yang mempunyai arti kiasan bahwa seseorang
yang sudah berumah tangga harus berjuang untuk menckupi kebutuhan hidup
semaksimal mungkin.
e)
Centhong adalah
alat untuk mengambil nasi pada saat nasi diangi, yang terbuat dari kayu atau
hasil tempurung kelapa. Maksudnya seorang yang sudah berumah tangga mampu
mengoreksi diri sendiri atau introspeksi sehingga ketika mendapatkan
perselisihan antara kedua belah pihak (suami dan istri) dapat terselesaikan
dengan baik. Selalu mengadakan musyawarah yang mufakat sehingga terwujudlah
keluarga yang sejahtera, bahagia lahir dan batin.
f)
Irus adalah
alat untuk mengambil dan mengaduk sayur yang terbuat dari kayu atau tempurung
kelapa. Maksudnya ialah sesorang yang sudah berumah tangga hendaknya tidak
tergiur atau tergoda dengan pria atau wanita lain yang dapat mengakibatkan
retaknya hubungan rumah tangga.
g)
Siwur adalah
alat untuk mengambil air terbuat dari tempurung kelapa yang masih utuh dengan
melubangi di bagian atas dan diberi tangkai. Siwur merupakan kerata basa yaitu,
asihe aja diawur – awur. Artinya, orang yang sudah berumah tangga harus
dapat mengendalikan hawa nafsu, jangan suka menabur benih kasih saying kepada
orang lain.
h)
Saringan ampas atau kalo adalah
alat untuk menyaring ampas terbuat dari anyaman bambu yang memiliki arti bahwa
setiap ada berita yang datang harus disaring atau harus hati – hati.
i)
Wangkring yaitu
pikulan dari bambu. Filsafatnya adalah di dalam menjalani hidup ini berat
ringan, senang susah hendaklah dipikul bersama antara suami dan istri
Pelaku begalan terdiri dua orang. Mereka
berdialog saling tegang diiringi sebuah musik tradisional gamelan sederhana
(kenong, kendang, gong). Kostum kedua pelaku dengan ciri warna-warna dasar
seperti hitam, putih, merah, dan biru. Semula dialog memakai bahasa Banyumas
asli namun belakangan kadang menggunakan campuran bahasa Solo atau Yogyakarta.
Kedua pelaku adalah wakil dari kedua
mempelai. Pada saat saling argumentasi dan bertanya jawab, wakil mempelai
putra biasanya disebut Surantani atau Jurutani. Sedangkan wakil perempuan
disebut Suradenta. Konon sebutan nama Sura diambil pelaku seni begalan yang
dulu sangat terkenal, berasal dari Desa Suro, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten
Banyumas.
Mereka punya tugas yang berbeda.
Suratani mengantar peralatan dapur dengan sebuah pikulan yang disebut Bronong
Kepang menuju mempelai putri. Sedangkan Suradenta menjaga mempelai putri,
menyambut datangnya mempelai putra yang kelak menjadi pendamping hidup berumah
tangga. Sesuai tugasnya, alat yang dipegang Suradenta berupa pemukul, disebut
Pedang Wira yang berfungsi memukul periuk. Periuk terbuat dari tanah liat yang
berasal dari tanah desa Gambarsari, Kecamatan Kemangkon berisi nasi kuning.
Ketika periuk pecah dan penonton yang
sebagian besar anak-anak mulai berebutan, maka pertanda berakhirnya pementasam
tradisional Begalan. Menurut adat dan kepercayaan, beras dan isi berupa
makanan diberikan sebagai sesaji kepada Iwen supaya Wredhi. Artinya supaya
berputra/putri banyak, sehat lahir batin, selamat dunia akhirat. Pertunjukkan
seni begalan biasanya diselenggarakan di rumah pihak mempelai putri.
D.
Kesimpulan
Begalan merupakan tradisi kebuayaan
Banyumas Jawa Tengah yang pelaksanaanya dilakuakan pada upacara pernikahan
putra sulung atau bungsu. Pada dasarnya Tari Begalan adalah tarian rakyat yang
menggunakan peralatan – peralatan (Properti) yang memiliki makna simbolis yang
berguna bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Dialog dengan gaya jenaka
ditampilkan dalam pertunjukan seni untuk rakyat yang berfungsi untuk menghibur.
Kostum atau tata pakaian dan riasannya juga sederhana karena begalan termasuk
bentuk kesenian rakyat yang bersifat sederhana.
Seni tutur Begalan ini mengandung unsur tatanan,
tuntunan, dan tontonan yang diyakini dan dipercaya oleh masyarakat
Banyumas. Yang dimaksud dengan seni begalan sebagai tatanan adalah norma-norma/
adat yang berlaku di daerah tersebut. Tuntunan merupakan hal-hal yang harus
dituruti oleh orang-orang daerah tersebut, sedangkan tontonan berarti kesenian
tersebut dijadikan pertunjukan. Sebagai suatu norma yang turun menurun dan
harus diikuti oleh masyarakat Banyumas yang percaya dan sekaligus dapat menjadi
tontonan bagi tamu undangan maka sampai sekarang seni tutur Begalan masih
sering diadakan oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya yang percaya
untuk mengadakan Begalan pada hajat pernikahan putranya apabila pengantin pria
sebagai anak sulung mendapatkan jodoh putri sulung, pengantin putra sebagai
anak bungsu mendapat jodoh putri bungsu, atau pengantin pria sulung mendapat
jodoh putri bungsu. Hal ini dilaksanakan dengan maksud untuk memberikan
wejangan, ular-ular atau nasihat yang ditujukan kepada mempelai dalam mengarungi
kehidupan yang baru dalam keluarga maupun masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas,
Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. PT LKiS Pelangi Aksara: Yogyakarta
Khalil,
Ahmad. 2008. Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa.
Yogyakarta: UIN Malang Press
Koentjaraningrat.
2002. Kebudayaan Mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Kohari, Kasan. 2009. Ragam Budaya
Banyumasan Untuk Aset Wisata. Kontribusi, Volume 2 Edisi 1, November
2009. Lembaga Penelitian Unsoed: Purwokerto
Ns,
Suwito. 2008. Islam Dalam Tradisi Begalan. Purwokerto: STAIN Purwokerto
Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika
Kajian Puitika Bahasa, sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Solikhin,
Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Susetya,
Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen “Tradisi Jawa Melepaskan Keduniawian
Menggapai Kemanungalan”. Jakarta: PT. Buku Kita
Sumber
sebagai pembicara diambil pada 28 Mei 2013:
Pak Ridan, Pak Yanto, Annisa berasal
dari desa Cipawon, Kec. Bukateja, Kabupaten Purbalingga.
Sende den Text als PDF kostenlos an mich
| |
|
|